PT Liga Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan amanat pemerintah agar mulai musim 2011/12 nanti, klub tidak lagi menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Hampir semua klub peserta Liga Super Indonesia maupun kasta di bawahnya hingga kini masih menyusu pada dana APBD. Karena itu, penghentian dana hibah ini mencemaskan sebagian besar klub, yang sejauh ini mengaku profesional.
Suara keberatan terutama datang dari klub-klub daerah. Menurut mereka, tidak seperti klub-klub di kota besar, amat sulit mengumpulkan dana secara mandiri dengan mengandalkan potensi daerah.
“Di daerah, pendapatan tiket hanya 10 juta (rupiah), kami juga kesulitan mencari sponsor,” ujar ketua umum Persigo Gorontalo, yang juga mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI, Adhan Dambea.
Namun sejumlah pihak lain yakin, dengan kreativitas dan kesungguhan manajemen, klub-klub bisa menjadi benar-benar profesional dan berhenti mengandalkan dana APBD.
Pemain legendaris Timnas Indonesia Rochi Puttiray, yang telah merumput di beberapa liga asing, adalah salah satu yang yakin klub dapat tetap bertahan meski tanpa bantuan dana dari pemerintah daerah.
“Di Hongkong, setiap klub merasa dianaktirikan karena pemerintah tak ikut campur, pemerintah lebih memperhatikan pacuan kuda. Karena itu mereka mencari sponsor sendiri, entah bagaimana caranya. Tetapi justru dari situ mereka mampu bertahan dan mandiri,” ujar Rochi pada jumpa pers peluncuran program televisi Soccer Star Indonesia di Hotel Sultan, Jakarta.
Menurut mantan pemain Arseto Solo itu, klub-klub tak perlu takut. Yang terpenting menurutnya adalah manajemen mau bersungguh-sungguh bekerja demi kepentingan klub.
“Kalau profesional, tidak mungkin tidak ada sponsor. Klub-klub ini tidak perlu takut, mereka harus kreatif untuk mencari dana. Selain itu, dengan menjadi mandiri, kompetisi juga akan menjadi lebih menarik,” tambahnya.
Sementara menurut mantan bintang Tim Garuda lainnya, Peri Sandria, penyebab utama klub-klub tidak bisa mendapatkan dana lewat potensi daerah karena manajemen klub banyak memberikan kesan negatif mengenai klubnya sendiri.
“Indonesia ini kaya. Di setiap daerah punya kekayaan alam. Sebenarnya banyak pengusaha yang mau mendanai klub, seperti Roman Abramovich di Chelsea. Tetapi masalahnya, mereka ragu dana yang mereka berikan nantinya di salah gunakan,” lanjut mantan pemain Mastrans Bandung Raya tersebut.
“Di Indonesia ini, banyak pengurus klub yang tak tahu bola, tetapi banyak uang. Sementara klubnya kekurangan. Karena mereka tidak berniat memajukan klub, tetapi justru mencari kesempatan untuk mendapatkan penghasilan,” ujarnya.
Peri pun optimistis liga dan klub akan bisa bertahan meski tanpa APBD. “Yang penting manajemen klub harus profesional, jangan amatiran,” tegasnya.
Namun Peri juga memahami, bahwa masalah manajemen juga terjadi di jajaran pengelola liga. Tandasnya, "Manajemen liga saya rasa hingga kini masih belum cukup profesional."
Sedangkan ketua harian PSPS H Jeffrie Nazier menyarankan beberapa pembenahan di PT Liga Indonesia (PTLI).
“Saat ini regulasi dan sponsor liga dikuasai PT LI sepenuhnya. Ketum PSSI terpilih nanti harus segera mencarikan solusinya bagi klub, karena klub tidak mendapat suntikan APBD lagi,” kata Ketua Harian PSPS H Jefrie Nazier.
Sementara itu, CEO PT Liga Indonesia Joko Driyono mencoba memberi jalan tengah bagi klub-klub yang masih memiliki ketergantungan terhadap APBD. Yakni dengan membangun hubungan yang lebih profesional dengan pemerintah daerah.
Pertama adalah sponsorship. Yakni klub memberikan spot bagi pemerintah daerah untuk mempromosikan daerahnya. Kedua, ownership, dimana pemerintah menjadi bagian dari pemilik modal, serta ketiga partnership. Yakni dengan sistem bagi hasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar