Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selama ini diandalkan sebagian besar klub-klub Liga Super Indonesia adalah salah satu perusak kompetisi dalam negeri.
Bantuan negara untuk olah raga sejatinya bukanlah hal yang tabu, selama digunakan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan prasarana serta pengembangan bibit-bibit muda.
Namun menjadi salah kaprah jika dana hingga puluhan miliar tersebut digunakan untuk biaya operasional klub, apalagi bagi klub-klub yang berstatus klub profesional.
Selain membuat jajaran manajemen klub menjadi ‘malas’ untuk mengoptimalkan potensi pemasukan yang ada di sekitar daerah klub tersebut bernaung, ketergantungan APBD juga dinilai Rochi Putiray sebagai penyebab tidak stabilnya kondisi keuangan klub itu sendiri.
“Karena bantuan APBD sendiri juga turunnya tidak pasti. Seharusnya klub kan bisa menjamin kebutuhan dana secara teratur. Kalau musim ini ada hutang, dana untuk musim depan juga harus disesuaikan.”
“Tapi ini kan tidak. Musim ini ada hutang, dana (APBD) untuk musim depan belum pasti. Dan begitu seterusnya, sehingga permasalahannya semakin menumpuk,” ujar Rochi.
Karena itu, Mantan bomber Timnas Indonesia itu menilai, dengan mendorong klub-klub menjadi mandiri, kompetisi akan menjadi lebih menarik karena mereka akan memaksimalkan semua aspek olah raga tersebut untuk mendapatkan pemasukan.
“Klub-klub ini tak perlu takut tak perlu takut. Yang penting mereka harus kreatif untuk mendapatkan dana. Selain itu, dengan menjadi mandiri akan membuat kompetisi berjalan lebih menarik,” jelasnya usai jumpa pers peluncuran program televisi Soccer Star Indonesia.
Salah satu contoh dampak negatif APBD terlihat pada Petrokimia Putra Gresik, jawara Liga Indonesia 2002. Setelah menghamburkan dana APBD dalam jumlah besar, hutang di musim berikutnya menumpuk, membuat klub menjalani musim berikutnya dengan biaya seadanya. Prestasi pun melorot dan langsung terdegradasi pada tahun berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar