Belanda bukan saja menyimpan puluhan pemain keturunan. Di negeri
runner-up Piala Dunia 2010 ini juga ada pelatih keturunan yang
berkualitas. Contohnya John Taihuttu.
Pelatih tim junior Fortuna Sittard kelahiran 8 November 1954 ini adalah
keturunan Maluku. Mantan striker kondang VVV Venlo itu yakin bisa
berkontribusi untuk persepakbolaan Indonesia.
Pengalaman
Berbekal pengalaman 16 tahun melatih tim junior di Fortuna, ia yakin
bisa membantu membesarkan bakat-bakat baru Indonesia. Setelah mengakhiri
karir sepak bola profesional di VVV dari 1981-1986 ia mengabdikan diri
sebagai pelatih Fortuna Sittard.
Di klubnya ia terlibat langsung mencari bakat muda di kawasan Belanda
Selatan. Ia bersaing dengan pencari bakat dari empat klub besar: Roda
JC, MVV Maastricht, VVV Venlo dan bahkan dari klub Racing Genk negara
jiran Belgia. Johnny yang menguasai bahasa Indonesia dengan baik itu,
kepada Radio Nederland mengatakan. “Setiap minggu kami mendatangi
klub-klub kecil di radius sampai 50 km mencari bakat berusia 8 tahunan,
bersaing dengan klub-klub besar di Belanda Selatan ini.”
Harapannya bisa mendapatkan bakal pemain profesional sejak usia dini.
“Begitu kami mendengar ada pemain berusia sekitar 8 tahun yang mencetak
tiga gol pada laga kompetisi, kami langsung mengajaknya datang ke
Fortuna,” ungkapnya kepada Radio Nederland.
Mark van Bommel
Dengan bangga pelatih berambut putih itu mengaku pernah ikut membesarkan
pemain-pemain ternama. “Saya bersyukur pernah melatih Mark van Bommel,
Fernando Ricksen dan Kevin Hofland.“
Sebagai pelatih tim junior B1 (16 dan 17 tahun) maka John Taihuttu
tergolong kelompok pelatih pilihan. 1 dari 36 yang melatih tim B1 di
Belanda. 18 dari klub Eredivisie (Liga Utama) dan 18 tim de Eerste
Divisie (Liga Kedua). “Di Belanda ini setiap klub liga utama dan kedua
punya tim junior A1, B1, C1. Pelatih dari tim junior ini harus memenuhi
syarat ketat sebagai pelatih dan pendidik.”
Simon Tahamata
Secara pengalaman melatih Taihuttu punya track record dan jam terbang
lebih panjang dari Simon Tahamata. “Untuk bisa melatih B1 di Fortuna
maka saya harus memiliki kemampuan pedagogis. Menjadi guru yang tegas
dan disiplin,” urainya kepada Radio Nederland.
Klub profesional setingkat Fortuna Sittard ini mendidik pemain menjadi
manusia yang lengkap baik dalam maupun luar stadion. Bung Johnny,
panggilan akrabnya, mengatakan pernah menerapkan ketegasan pada Mark van
Bommel, ketika dia mendapat angka merah di sekolah.
“Kami tidak pasang Mark di tim utama bukan karena kwalitasnya, tapi
karena ada dua nilai merah di rapotnya. Dia harus lulus dua angka itu,
sebelum dipasang lagi di tim.”
Menyaring Bakat
Dengan bekal ilmu akademi sepak bola Belanda, John Taihuttu sesumbar
bisa melacak bakat anak usia 10 tahun dari cara dia berjalan dan
berlari. “Dari cara dia berjalan dan berlari tanpa bola saja saya bisa
mengenali, anak punya bakat atau tidak. Biasanya 9 dari 10 dugaan saya,
terbukti,” ungkap pria ramah itu kepada Radio Nederland.
Melempar bola adalah cara lain mengenali bakat. “Kalau anak dilempar
bola, kita bisa langsung tahu dari respon dia. Di lapangan, kita bisa
langsung melihat orang dari satu pertandingan. Perhatikan apa yang dia
lakukan ketika menguasai bola.”
Empat-Lawan-Empat
Johnny juga menerapkan cara main di kelompok kecil, untuk mengetahui
kemampuan pemaian baru. “Ketika bermain empat-lawan-empat kita bisa tahu
ketrampilan seorang pemain. Kalau seorang bisa memainkan bola dan
menempatkan bola di pundak, itu tidak istimewa. Saya justru ingin
melihat pemain itu ketika tidak sedang menguasai bola.”
Surabaya
Pelatih junior kelahiran Venlo yang juga pernah berkunjung ke Surabaya
di era tahun 1980an itu juga punya pendapat tegas, sejak 10 tahun harus
sudah masuk klub. “Seorang bintang sepakbola harus sudah masuk
pendidikan bola sejak usia dini, maksimal sepuluh tahun. Tanpa
pendidikan panjang di klub, mustahil bisa berhasil,” tegasnya. “ Jangan
lupa bahwa Lionel Messi saja sudah masuk Barcelona sejak usia 10
tahun.”
Mantan pemain VVV di era 1980an itu mendukung pelatihan bakat-bakat muda
Indonesia di Belanda. Tapi dia menyadari hambatan ijin tinggal.
“Klub-klub Belanda pada prinsipnya bisa menampung pemain non Uni Eropa
usia 15 sampai 16 tahun, tapi dia harus sudah punya ijin tinggal di
Belanda. Ijin tinggal harus diurus pemain sendiri.”
Beberapa Tahun Saja
Kepada RNW dia menyatakan bukan saja merasa mampu, tapi juga siap
menyumbangkan pengalaman dan sisa tenaganya untuk kemajuan sepakbola
Indonesia. “Dengan sisa masa aktif yang tinggal beberapa tahun ini, saya
ingin menyumbang ilmu dan tenaga untuk tanah leluhur.” Baginya tidak
ada bedanya Maluku dan Indonesia. “Ilmu saya lebih berharga untuk
diturunkan kepada pemain muda Indonesia dari pada di Belanda.”
Dengan kondisi tempat kerja sepak bola yang kisruh seperti di Indonesia
saat ini, berfikirlah 1000 kali bung! Percuma, jangankan kwalitas hanya
setingkat Johnny Taihuttu, Pep Guardiola atau Jose Mourinho pun dirasa
tidak akan mampu memajukan sepak bola Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar