Begitu banyak waktu, tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan sepak bola nasional. Kini sang terpilih harus membayar pengorbanan tersebut dengan kerja keras yang setimpal.
Setelah dua kongres sebelumnya, yakni di Pekanbaru akhir Maret silam serta di Jakarta 20 Mei lalu, gagal digelar, Komite Normalisasi yang ditunjuk FIFA menyelamatkan PSSI dan sepak bola nasional mengubah status kongres untuk memilih ketua umum, wakil ketua umum serta anggota Komite Eksekutif PSSI 2011-2015 di Solo, Sabtu (9/7/11) kemarin tersebut menjadi Kongres Luar Biasa.
Dengan status ini, jalannya kongres bisa diatur lewat kebijakan yang ditentukan kemudian, namun tetap mendapatkan persetujuan dari FIFA. Tujuannya adalah untutk mencegah penyebab kegagalan pada dua kongres sebelumnya tak terjadi lagi.
Namun untuk sampai ke Solo ini, PSSI harus babak belur pada dua kongres sebelumnya. Total, sejak persiapan kongres mulai didengungkan usai Piala AFF akhir 2010 lalu hingga kongres benar-benar selesai memakan waktu sekitar tujuh bulan.
Berlarut-larutnya masalah perebutan kekuasaan menjelang kongres tersebut merembet ke berbagai aspek lain, termasuk mengorbankan sepak bola nasional itu sendiri. Insan sepak bola Indonesia terpecah setelah salah satu kubu mendirikan Liga Primer Indonesia, sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pengurus di masa lalu.
Sayangnya, liga tersebut dibuat tanpa memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku, sehingga pro-kontra pun muncul dan membuat masyarakat seolah-olah dipaksa untuk memilih. Liga Primer Indonesia atau Liga Super Indonesia, yang sudah lebih dulu ada.
Masalah ini kemudian berimbas juga kepada timnas Indonesia. Pemain-pemain berkualitas terpaksa tak bisa memperkuat Tim Garuda karena memang sesuai peraturan FIFA, pemain LPI tidak mendapat pengakuan dari PSSI dan otomatis dari FIFA sebagai induk PSSI, dengan demikian dilarang untuk memperkuat PSSI sebagai anggota FIFA.
Selain kekuatan timnas yang berkurang, konflik yang secara langsung maupun tidak langsung melibatkan pemerintah lewat Menpora dan KONI itu membuat kucuran dana untuk timnas juga tersendat. Imbasnya, Tim Merah Putih tak bisa mempersiapkan diri dengan baik menghadapi sejumlah even yang menanti, seperti Piala AFF U-23, Pra-Piala Dunia serta SEA Games.
Selain menghabiskan waktu dan tenaga untuk bergontok-gontokan tersebut, kisruh sepak bola nasional juga memakan biaya yang tidak sedikit. Total, hanya untuk penyelenggaraan tiga kongres itu saja, PSSI melalui Komite Normalisasi sudah menghabiskan dana sekitar tujuh miliar rupiah.
Seandainya kongres bisa selesai dalam satu putaran, maka sisa anggaran untuk dua kongres berikutnya bisa dialihkan kepada timnas, senior khususnya, yang kini tak bisa beruji coba keluar negeri karena kekurangan dana sekitar dua miliar rupiah saja.
Melihat banyaknya aspek dari sepak bola nasional yang telah dikorbankan, Djohar Arifin dan Farid Rahman sebagai ketua umum dan wakil ketua umum baru, serta sembilan anggota Komite Eksekutif yang baru sebaiknya menjalankan amanatnya dengan baik.
“Jangan lagi ada pertanyaan, apa yang yang bisa kuperbuat untuk golonganku, untuk partaiku?” ujar ketua Komite Normalisasi Agum Gumelar.
Kongres Luar Biasa harus memberikan hasil yang luar biasa pula. Prestasi harus segera diraih pengurus yang terpilih sekarang dengan ujian pertama adalah SEA Games 2011 di Pekanbaru dan Jakarta.
Djohar dan Farid serta sembilan anggota Komite Eksekutif PSSI 2011-2015 harus bisa mengakhiri paceklik medali emas sejak 1999 lalu, dan selanjutnyamembawa sepak bola Indonesia meraih segudang berprestasi lainnya, menjadi Macan Asia, seperti harapan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng saat penutupan kongres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar