Tepat usai Indonesia Raya berkumandang di Stadion Utama Gelora Bung
Karno (SUGBK) saat tim nasional Indonesia melawan Bahrain Selasa (06/9)
lalu. Tampak seorang pria tergopoh-gopoh berlari dari bangku ofisial
pertandingan berlari ke pinggir lapangan. Seiring dengan toss wasit dan
kedua kapten tim, pria itu merogoh kamera pocket dari balik saku jasnya.
Bukan wasit atau kedua kapten tim yang ia ambil gambarnya, tapi ia
arahkan kamera ke atas. Ia gerakkan kiri kanan, mencoba mengabadikan
sesuatu. Tak lain adalah, kembang api.
Entah siapa nama pria
berperawakan bule itu. Yang pasti, terlihat dari ID card yang tergantung
di lehernya, ia adalah salah satu Match Comissioner FIFA World Cup
Brasil 2014. Gambar yang ia abadikan itu kini menjadi bukti. Sebagian
kecil dari beberapa bukti untuk penguat sanksi yang siap dijatuhkan FIFA
ke Indonesia.
Insiden kembang api dan petasan yang membuat
pertandingan Indonesia melawan Bahrain lalu itu terhenti, sebenarnya
bisa dicegah. Jika saja PSSI sedikit tanggap dan berkonsentrasi dengan
hal ini. Sebab, ancaman terhadap sanksi karena petasan sudah dibunyikan
oleh AFC atau FIFA. PSSI selaku panpel mengaku akan merazia ekstra ketat
hal ini. Namun, buktinya? Petasan masih berbunyi dengan riuhnya di
Senayan.
Petasan boleh jadi adalah budaya di Indonesia. Apalagi
pertandingan kemarin masih dalam suasana lebaran. Kenapa PSSI tidak
mencermati hal ini?
Bertahun-tahun Polisi dan aparat penegak
hukum lainnya merazia petasan menjelang lebaran. Seolah itu sudah
menjadi agenda tahunan mereka. Hasilnya? Masih saja terdengar bunyi
petasan di malam takbiran hingga beberapa hari usai lebaran. Kalau PSSI
menyadari betapa susahnya merazia petasan kenapa mereka tidak mengambil
cara lain?
Berkaca dari dua edisi Piala Dunia, FIFA selalu bisa mengalah dengan
budaya negara anggotanya. Di Jerman 2006, mereka mengalah dengan
memperbolehkan bir masuk stadion. Meski sempat melarang, namun mereka
akhirnya memperbolehkannya usai pagelaran Piala Dunia. Sebab, bir sudah
menjadi minuman yang tak bisa dipisahkan dari budaya Jerman.
Yang
masih gress, Vuvuzela di Afrika Selatan. Walau kebanyakan pemain, pelatih meminta
terompet dengan 127 desibel itu dilarang masuk stadion karena bisingnya
mengganggu instruksi mereka, FIFA tak bisa berbuat banyak. Vuvuzela
sudah melekat dengan Bafana Bafana dan tak ada larangan yang keluar
selama Piala Dunia berlangsung.
Menarik disimak komentar pelatih Peter
Taylor saat konferensi pers usai pertandingan saat ditanya tentang
insiden petasan. Selain mengaku, kalau dirinya menarik anak buahnya ke
ruang ganti untuk memenehi peraturan Match Commissioner FIFA, bukan
karena takut petasan nyasar. Ia juga mengaku simpati dengan aksi
suporter Indonesia dengan kembang api dan petasan tersebut. "Tak pernah
saya saksikan suporter semeriah ini. Itu bagus untuk sebuah pertandingan
sepak bola," kata pelatih asal Inggris ini.
Seandainya PSSI mau
melobi, mungkin kini Indonesia tak kan gusar menanti sanksi. Atau bahkan
bisa saja petasan atau kembang api diperbolehkan masuk stadion.
Mungkin, dengan beberapa catatan untuk standar keamanan dan keselamatan.
Itu kalau PSSI mau, tahu, dan bersedia menyampaikan keinginan suporter
Indonesia itu. Atau mereka tak mau tahu? Ah asal jangan beralasan mereka
masih pengurus baru dan tak tahu menahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar